
Pada trip kali ini saya bersama seorang teman saya mengunjungi Puncak Penandjakan untuk melihat matahari terbit Bromo yang tersohor di seluruh dunia.
Pada 12 November 2012, saya dan teman saya, Sutopo memulai perjalanan dari Surabaya. Kami berangkat pukul 09.00 menggunakan 2 motor yang dikendarai sendiri-sendiri.
Perjalanan dimulai dari Surabaya - Sidoarjo - Pandaan - Sukorejo - Purwosari - Nongko Jajar - Tosari - Penandjakan. Kami berangkat pagi hari menembus jalanan Sidoarjo yang cukup padat dan jalanan Porong sampai Apolo merambat, tapi lepas dari titik tersebut kondisi jalan relatif lancar. Setelah melewati Purwosari tepatnya Kebun Raya Purwodadi, kami mengambil jalur kiri untuk belok ke arah Nongko Jajar. Begitu belok ke arah Nongko Jajar, tidak sampai 100 meter kami sudah disambut udara dingin pegunungan.
Dinginnya udara dan jalan yang berkelok-kelok membuat petualangan ini semakin nyata. Udara panas siang hari tidak terasa di kulit, hanya dingin dan sejuk yang menerpa wajah dan kulit saya. Jalanan yang dilalui pun begitu menyenangkan, jalan naik turun berkelok bernuansa hijau pegunungan dan birunya langit membuat mata ini serasa dimanjakan.
Pemandangan bertambah menakjubkan saat kami mulai melewati batas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Pemandangan gunung, lembah dan sungai bergantian menyegarkan mata. Sungguh, rasanya segala penat menguap bersama terpaan angin yang mengusap tubuh ini.
Tidak berapa lama kami tiba di jembatan yang sungainya menurut saya cukup eksotik.
Di sungai itu kami sempat berhenti untuk merasakan dinginnya air pegunungan. Di seberang jembatan ini mulai terlihat pura untuk sesajen umat Hindu. Setelah melewati batas Taman Nasional kita akan memasuki dusun-dusun masyarakat Tengger yang sebagian besar memeluk agama Hindu. Tengger sendiri ini tidak luput dari legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang merupakan nenek moyang suku Tengger yang mendiami daerah Bromo Tengger Semeru.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Jalanan kembali naik , desa-desa terlihat seperti rumah-rumah liliput jika dilihat dari atas sini. Sebagian rumah mengeluarkan asap pertanda dapur mereka memasuki jam produksi. Para petani terlihat menggarap ladang mereka, namun ada juga yang santai sambil menghisap rokoknya. Sungguh tenang, tentram dan damai.
Akhirnya kami tiba di Desa Tosari bawah. Di sini kami menyempatkan diri makan bakso tengger sambil menikmati udara dingin di lereng pegunungan Bromo. Harga bakso disini Rp 5 ribu/porsi, porsi yang ditawarkan juga tidak bisa dikatakan sedikit karena perut kami langsung terasa penuh.
Lepas dari acara makan, kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi penginapan di area loket Penandjakan. Untuk penginapan kami telah pesan terlebih dahulu kepada Pak Marimin. Harga yang dipatok saat itu Rp. 150ribu/kamar.
Fasilitas yang didapat antara lain televisi, dapur + gas, ruang makan dengan meja makan untuk 8 orang. Jadi sebenarnya penginapan itu berbentuk rumah, namun dalam penyewaannya mereka tetap mematok per kamar.
Sampai di penginapan kami langsung menaruh barang-barang bawaan. Setelah itu Pak Marimin mengajak berbincang-bincang dan menawari kami teh hangat atau kopi, kami memilih teh. Tak berapa lama seorang gadis berseragam SMP mengantarkan teh hangat untuk kami, kami pun tak lupa mengucapkan terima kasih. Setelah minta ijin, kami meminumnya sambil menikmati udara siang yang dingin. Waktu yang saat itu menunjukkan pukul 14.00 sudah seperti pukul 17.00 di Surabaya.
Sore hari kami menyempatkan diri berkeliling sekitar desa. Saya tertarik dengan pura yang terletak di atas bukit. Pura itu terlihat kokoh dan megah seperti sebuah benteng yang menaungi pemukiman sekitarnya.
Pukul 16.30 kami naik ke Penandjakan untuk menikmati suasana barisan gunung Bromo di sore hari. Selama perjalanan menuju Penandjakan kami melewati jalanan yang diapit jurang dan terdapat pohon beringin yang berjejer rapi di tiap sisinya. Saat itu saya merasa berjalan di jalur naga, jalan yang dilalui Son Goku untuk berlatih di akhirat, hahaha..
Sampai di Gunung Penandjakan, memang benar kabut telah menyelimuti deretan pegunungan Bromo sehingga kami pun naik lagi ke camping ground untuk mengambil beberapa gambar.
Setelah puas kami turun ke penginapan. Benar saja, saat turun ternyata jalanan sudah gelap. Pelan-pelan kami menuruni jalanan gelap dan berkelok dengan hati-hati. Sampai di loket, kami langsung mampir ke warung untuk memesan nasi goreng dan kopi. Nasi goreng yang disajikan cukup enak dan udara malam yang mendukung menambah nikmat suasana (what a wonderful world deh).
Saat menunggu makanan tersaji, kami sempat bertemu dengan mas Heru yang menawarkan penginapan. Ia menawarkan kamar dengan harga Rp. 100ribu, kamar saja. Selain itu, ia juga menawarkan rumah dengan 3 kamar, kamar mandi, ruang makan + meja dan dapur yang dapat menampung 10 orang dengan harga Rp. 300ribu. Lumayan sambil menambah referensi penginapan, siapa tahu besok datang dengan keluarga atau bala kurawa, hehehe.
Selesai makan, kami langsung pulang dan beristirahat di penginapan sambil menunggu esok tiba.
Pagi harinya kami bangun pukul 04.00 untuk segera berangkat ke Penandjakan melihat acara utama, (drum roll) yak, matahari terbit. Kami dijemput oleh Pak Marimin, setelah membayar tiket Rp. 15ribu/orang kami segera meluncur ke Penandjakan. Jalanan gelap yang kami lewati semalam kami lewati lagi. Tidak lama kemudian kami sampai di Penandjakan.
Ternyata disana sudah ramai wisatawan lokal dan mancanegara. Namun yang paling mendominasi adalah wisatawan mancanegara. Dari logatnya saya menduga sebagian besar dari mereka datang dari Perancis (hehehe, sok tau kali kau bang).
Akhirnya "Golden Time" dari matahari terbit telah tiba. Saya menyebut demikian karena bagian terindah dari Sun Rise ini hanya berlangsung kurang dari 5 menit. Jadi kita tidak boleh membuang kesempatan emas ini. Kami juga beruntung karena saat itu cerah, matahari tidak terhalang kabut dan awan, apalagi hujan. Pada lautan pasir dibawah Penandjakan pasir tidak terlihat karena tertutup kabut tebal. Sempat ngeri juga bayangin kalau kami harus menempuh jalur tersebut sebentar lagi.
Setelah puas menikmati dan mengambil gambar, Pak Marimin mengajak kami "ngopi" sambil menunggu waktu turun. Oia, karena saat itu jalan menuju Bromo ditutup. Jadi kami mesti melewatinya dengan ilegal melewati jalan setapak berpasir. Pak Marimin juga berkata bahwa walaupun orang asli situ juga tidak boleh malalui jalan tersebut sampai pengerjaan selesai tanggal 28 November 2012.
Akhirnya benar saja, untuk melewati portalnya sepede motor harus kami rubuhkan. Setelah itu kami mengikuti Pak Marimin melalui jalan setapak berpasir yang disamping kanannya adalah JURANG yang dalam. Sempat ngeri dan bergidik juga sih, tapi ini juga bagian dari petualangan yang asyik menembus gunung dengan sepeda matic brooo. Sampai jalan utama, kami berpisah dengan Pak Marimin untuk meneruskan petualangan ke kawah Bromo. Pak Marimin pun menagih jasa guide-nya sebesar Rp. 50ribu. Selesai membayar kami menuruni jalanan curam beraspal namun berpasir dengan kemiringan 45 derajat. Sungguh bukan hal mudah.
Disini kehandalan mengemudi menjadi pertaruhan nyawa. Karena jika kita terpeleset, jurang berbatu telah menanti kita.
Disini saya bertemu dengan seorang lelaki yang setiap hari harus berjalan dari Tosari ke Sukapura menuruni Penandjakan dan menyebrangi lautan pasir berbisik setiap hari hanya untuk mencari rumput untuk pemilik kuda disana hanya untuk mencari makan dan menyambung hidupnya dan keluarganya. Perjuangan yang patut dihargai. Saya merasa beruntung dan bersyukur dengan apa yang saat ini saya miliki, entah esok hari, atau lusa nanti, entaahhhh.
Akhirnya saya menawarkan tumpangan pada pria tersebut untuk sampai ke seberang. Sampai bawah Penandjakan, benar saja kabut tebal telah menanti sehingga jalur kendaraan tidak terlihat. Namun untung saja pria tersebut memberi petunjuk jalur yang benar, sehingga kami berdua berhasil menembus pasir berbisik dengan terseok-seok dan tergelincir diatasnya. Bahkan beberapa kali pria itu turun dari boncengan karena ban sepeda saya tenggelam di lautan pasir. Sampai di patok kawah parkiran Jeep kami berpisah, saya belok ke arah kawah dan ia harus terus untuk sampai ke Sukapura.
Sebelum menuju ke kawah, saya dan teman berfoto dengan kendaraan masing-masing.
Saat akan berangkat, seorang gadis melambai ke arah saya. Tentu saja saya bingung, saya tidak janjian dengan siapapun disini. Apakah ia orang yang saya kenal. Ah, mungkin saja ia memanggil penjaja kuda tunggangan. Karena ragu, saya pun mengangkat tangan dan berhenti sejenak.
Ternyata betul sayalah yang ia panggil. Akhirnya ia dan temanya yang perempuan juga menghampiri kami. Ia ternyata mau menumpang sampai ke arah tangga kawah. Karena saya dan teman tidak berpenumpang,maka kami menyetujuinya. Kami berempat pun menyebrangi pasir berbisik ke arah kawah.
Ternyata dua gadis itu bernama Tri dan Nunu. Mereka datang dari Jogyakarta, Tri asli Pasuruan sedangkan Nunu asli Balikpapan, dan mereka berdua ternyata suka berpetualang juga. Setelah memarkir kendaraan, kami berempat berjalan ke kawah bersama-sama.
Ternyata mereka sebelumnya juga dari Penandjakan naik Jeep.
Saat berjalan menaiki tangga saya menghitung jumlah anak tangga menuju puncak. Ternyata, dari hasil perhitungan saya dan teman-teman yang dihitung sambil terengah-engah, jumlah anak tangga dari bawah sampai atas adalah sejumlah 230 anak tangga. Catat..!!!!!!
Sampai diatas kami menikmati pemandangan kawah Bromo yang cukup seram menganga yang mengeluarkan asap tebal. Sisi gunung Batok yang dulu tertutup debu erupsi rupanya mulai ditumbuhi tumbuhan hijau. Kabut tebal yang menyelimuti perlahan menghilang berganti siraman sinar matahari.
Sambil menikmati pemandangan dari puncak Bromo, saya menawarkan perjalanan selanjunya menuju Ranu Pane kepada Tri dan Nunu. Setelah berunding akhirnya disepakati bahwa kami berempat melanjutkan perjalanan setelah sarapan di Sukapura dan setelah mengambil bawaan mereka di Hotel.
Setelah sarapan dan memberi minum kendaraan, kami menyusul 2 teman baru kami tersebut. Begitu anggota lengkap 4 orang, kami melanjutkan perjalanan ke arah Tumpang. Saat menembus pasir berbisik Nunu sempat tidak menyangka akan menyebrangi gurun pasir menggunakan kendaraan matic berboncengan. Sepertinya dia belum pernah dan tidak pernah menyangka bahwa selain unta, matic juga cukup gagah untuk menyebrangi gurun pasir (elus-elus Shiro).
Selesai membelah gurun pasir, kami menyebrangi lautan savanah yang akhirnya berujung jalan semen dibawah lereng batu sebelah kiri dan bukit teletubies sebelah kanan. Bukit Teletubies ini cukup terkenal loh, karena memang bentuknya seperti bukit di film teletubies, dan sudah kondang dengan predikat tersebut di kalangan para petualang.
Akhirnya kami sampai di pertigaan Bromo-Tumpang-Semeru. Untuk menuju Ranu Pane, kami mengambil jalan ke arah Semeru. Jalanan menaik mengantarkan kami ke puncak tebing di atas savanah dan pasir berbisik yang telah kita lalui. Jadiii, bayangkan sendiri saja pemandangannya, hehehe =D..
Tanjakan yang curam dan jalanan yang rusak sebagian membuat Nunu harus turun dan berjalan agar kendaraan tetap bisa naik. Tanpa terasa kami telah sampai di Desa Ranu Pani yang terletak di atas awan. Kami sempat mampir ke gerbang pendakian Semeru, lalu berbalik arah untuk parkir di kantor Ranu Pani. Setelah parkir kami berjalan ke arah danau Ranu Pani dan terus ke Ranu Regulo.
Sampai Ranu Regulo saya terkagum-kagum dengan Papan Vandalisme yang dibangun khusus untuk tangan-tangan jail disana. Dasar saya yang tidak bisa diam kalau lihat air langsung saja saya menghampiri dermaga di pinggir danau.
Saya langsung duduk di tepi dermaga.
Disinilah saat-saat paling sakral terjadi...
Air danau yang tenang...
Angin sepoi-sepoi yang membelai wajah...
Hanya ada suara burung yang bergantian dengan interval teratur (bukan bersahut-sahutan)...
Awan yg meneduhkan dari sinar matahari...
Gemerisik rumput yang digoyang angin...
Semua itu berjalan dalam SLOW MOTION....
SLOWWW...
S..L..O..W..
Saking tenangnya beberapa ikan mas tidak menyadari kehadiran kami. Mereka muncul tepat dibawah kami dan menghilang saat kami menggerakkan anggota tubuh.
Semua senyap itu menguap bersama penat. Saya merebahkan badan diatas dermaga sejenak sampai silau mentari mengintip dibalik awan.
Setelah cukup lama, saya dan Topo mengambil beberapa foto di tepi danau. Melihat pohon yang besar, kokoh dan upable (bisa dinaiki maksudnya), Topo segera memanjat dan saya langsung mem-foto-nya. Dia juga minta foto bersama bunga terompet yang ada disana (macam india-india-an kau ini bang).
Setelah puas berfoto-foto ria, kami berempat meninggalkan danau tersebut. Setelah membayar parkir Rp. 5ribu/sepeda, kami melanjutkan perjalanan turun ke Tumpang. Sepanjang perjalanan ke Tumpang kami bertemu puluhan pendaki Semeru dengan ratusan carrier yang mengendarai Jeep 4WD.
Baru saya tahu setelahnya bahwa di Semeru ada Jambore para pendaki. Bahkan tanggal 15-nya ada presenter Jejak Petualang, mbak Medina Kamil ikut naik ke Gunung Para Dewa itu.
Selama perjalanan turun kami melewati Desa Ngadas. Kami sempat mampir untuk foto-foto di gapura TNBTS untuk kenang-kenangan.
Sampai di Tumpang, kami mencari makanan (maklum, kebiasaan orang turun gunung). Kami makan siang di depot samping I***mart Tumpang. Saya dan Topo memesan Nasi Krengsengan + Kopi, sedangkan Tri dan Nunu memesan Soto + Kopi dan Teh. Ternyata ibu pemilik depot cukup baik loh, saat kami mencari travel untuk Tri dan Nunu, beliaunya membantu sebisanya. Makasih ya bu.
Akhirnya Saya dan Topo kembali ke Sidoarjo meninggalkan Tri dan Nunu di Terminal Tumpang untuk lanjut ke Terminal Arjosari menuju Jogyakarta.
Demikian petualangan Bromo-Pani kali ini. Senang rasanya bertemu dan berpetualang bersama kalian semua guys. Report ini terdahului oleh report Sempu karena memang banyak yang perlu di-edit, tapi syukurlah akhirnya terbit juga.
Sidoarjo, 2012.
Published with Blogger-droid v2.0.4