Sabtu, 12 April 2014

Luna's O(pi)nion #4 : Pulau Sempu, Antara Konservasi dan Pariwisata

Pulau Sempu, destinasi wisata di selatan Jawa Timur yang masih mengalami perdebatan antara aktivis lingkungan dan pengelolahannya sebagai pariwisata Jawa Timur, khususnya malang. Jika dirunut sesuai statusnya, Pulau Sempu termasuk dalam Cagar Alam. Hal ini merujuk dari  Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.

Sempu Island, travel destination on a southern east java that still debate between environment's activist and the people who live in there that hang their life from this island as a travel destinatin in East Java, especially in Malang. If we looking up from the island's status, its have a Nature Reserve's status. That status is scope from Indonesian Forest and Plantation Ministry's Decision "Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.

Menurut Wikipedia, Cagar alam adalah suatu kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa , dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Hal ini tentu saja menyebabkan Cagar Alam hanya terbuka untuk penelitian.

On a Wikipedia, Nature Reserve is a protected area of importance for wildlife, flora, fauna or features of geological or other special interest, which is reserved and managed for conservation and to provide special opportunities for study or research. So, this Nature Reseve just opened for a research.

Kembali ke Pulau Sempu, magnet utama dari Pulau Sempu adalah laguna yang berada di dalam pulau. Laguna ini oleh masyarakat setempat disebut segara anak. Segara anak memang indah bukan main, membuat kita yang berada di sekitarnya serasa tidak ingin beranjak dari tempat ini. Seiring dengan masuknya Sempu dan lagunanya di media sosial, jumlah pengunjung yang datang pun semakin meningkat. 

Back to Sempu Island, the main magnet from this destination is a lagoon in the core of an island. The people in there call it "Segara Anak". This laoon is very beautiful, made us want to stay here and won't to go. But, in hands the beautiful island become famous and entering social media, the visitors who came automatically increases.

Jika kita berkunjung pada penghujung minggu bisa dipastikan jumlah wisatawan yang datang  sangatlah membeludak.  Bahkan jalur untuk menuju destinasi ini sudah terekam oleh Google Map. Hal ini dikarenakan para pengunjung yang datang tidak hanya dari wisatawan domestik, namun juga mancanegara. Jumlah kunjungan wisatawan yang  tinggi ini, tentu saja juga mulai merubah mata  peencaharian sebagian penduduknya. Para penduduk setempat yang sebelumnya sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, kini mulai beralih ke sektor pariwisata. Mata pencaharian di sektor pariwisata menawarkan berbagai jenis, antara lain pengelolahan parkir, penyebrangan pengunjung, local guide, penjual makanan, persewaan perahu, agen wisata dan lain-lain.

If we came to this island on weekend, you'll found many people and tourist in this place. Now, the access to this place is recorded on Google Map, so you can find this place easily. The people who came to this island not just from a domestic, but from abroad too. The high visiting to this island makes people who live in there begin to live from tourism. Before they live from tourism, the biggest live from fishing. The tourism opportunity offering many jobs, such as parking, ferry ship, locals guide, cullinaire, boat rent, travel agent, etc.

Sayang, peningkatan kunjungan ini tidak bersambut baik sepenuhnya dari pemerintah dan penetapan statusnya. Sesuai dengan statusnya yang masih Cagar Alam, tentu saja ada pihak-pihak konservatif yang mengecam kunjungan ke destinasi wisata ini. Di lain pihak, pariwisata setempat memasukkan pulau alami ini ke dalam daftar wisata yang memiliki magnet tersendiri. Benturan sosial dan kepentingan pun tak dapat dihindarkan. Penduduk yang sudah beralih ke sektor pariwisata, pihak-pihak yang menuntut status konservasinya dan pengunjung yang semakin penasaran untuk mendatanginya. Pro dan kontra memang sudah biasa seperti halnya dua sisi pada mata koin. Namun tentu saja perlu ada jalan tengah yang menjembataninya. Keras kepala terhadap masing-masing prinsip dan kepentingan tentu saja sudah terbukti bukan jalan keluar yang terbaik. Jika ini dilangsungkan, konflik tidak akan pernah usai, area konservasi akan terus terancam, devisa pariwisata pun kehilangan peluang. Padahal pengelolahan pariwisata yang baik dan benar serta dilakukan profesional dapat berjalan selaras dengan kegiatan konservasi itu sendiri.

But, the increase of the tourism didn't have support from the government to its status. The status as nature Reserve made a visitors get sniping from the environment activist.

Di Indonesia sendiri, beberapa tempat sudah mengaplikasikan kegiatan pariwisata konservatif ini. Di Pasir Putih Situbondo, kondisi koral dan keragaman hayati bawah lautnya sudah berbeda jauh dengan enam tahun yang lalu. Kondisi saat ini jauh lebih baik dan menjadi satu-satunya tempat wisata di timur Jawa yang memiliki Dive Resort. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya laporan dari para penyelam mengenai munculnya spesies-spesies langka yang sebelumnya tidak dijumpai disana. Hal ini tentunya tidak lepas dari pembatasan penangkapan ikan di area tersebut. Nelayan tidak diperbolehkan mencari ikan di area pariwisata Pasir Putih, karena penangkapan ikan dengan jala, jangkar yang ditenggelamkan dapat merusak karang yang menjadi rumah bagi satwa laut.

Di Bali, saya menjumpai seorang Dive Guide dan Boatman mengambil puntung rokok yang ia temukan mengambang di laut. Hal ini tentu saja karena kesadaran mereka yang menjadikan laut sebagai sumber kehidupan. Jika laut kotor, lingkungan laut akan rusak. Jika lingkungan laut rusak, maka biota dalam laut pun akan ikut hilang. Jadi untuk dapat tetap menjadikan laut sebagai sumber kehidupan, mereka harus menjaga laut tersebut. Suatu tindakan yang konservatif bukan.

Di Alor dan Raja Ampat, kearifan lokal memiliki peran konservatif yang menjaga area tersebut. Pantai Indrayanti dari Yogyakarta  juga telah memberikan contoh bahwa pariwisata dapat menunjang konservasi alam. Dahulu ketika pantai itu yang sebelumnya bernama Pantai Pulang Syawal dalam kondisi kotor, tidak ada yang berkunjung, penduduk pun akan diam karena memang tidak ada nilai ekonomis yang bisa diambil dari sebuah pantai yang kotor. Namun keadaan tersebut berubah saat telah dilakukan pembersihan di area pantai. Pantai yang bersih mendatangkan banyak pengunjung. Bahkan karena ramainya banyak pengunjung yang mencari pantai lain yang relatif sepi. Meskipun ramai, pantai ini tetap bersih, karena jika anda kedapatan membuang sampah sembarangan, anda akan dikenakan denda sepuluh ribu rupiah. Sebuah langkah yang konservatif bukan.

Kembali lagi ke Pulau Sempu, konservasi dan pariwisata di pulau ini tidak akan ada yang berjalan dengan baik selama tidak ada jalan tengah. Pihak konservasi yang bertahan dengan prinsipnya, warga masyarakat yang terlanjur menggantungkan hidupnya pada pariwisata dan pengunjung penasaran yang dibuai media sosial mesti punya penyelesaian yang menyalurkan semua.

Untuk menyelesaikan masalah ini saya membayangkan jika pariwisata dan konservasi digabungkan. Jalur trekking antara Teluk Semut dan Segara Anakan dibuat hanya satu jalur resmi, area diluar jalur trekking adalah area konservasi, bagi yang melanggar diberikan sanksi denda yang tegas. Sepanjang jalur trekking, tiap 200 meter diberikan tempat sampah yang tidak dapat diakses oleh satwa. Tiap harinya ada petugas kebersihan yang mengambil sampah tersebut untuk  dibawa keluar area pulau. Bagi pengunjung yang membuang sampah sembarangan dapat dikenakan sanksi denda. Aturan kebersihan ini diterapkan mulai loket Sendang Biru sampai Segara Anak.

Pengelolahan yang baik membutuhkan biaya yang baik pula. Biaya ini dapat ditarik dari peningkatan tiket masuk. Dengan kondisi alam yang bersih, baik dan terawat, pengunjung tentu tidak akan berat menambah bea masuk tempat wisata. Kalau perlu, pada loket wisata, sudah ada pilihan paket yang ditawarkan (Sendang Biru, Waru-Waru dan Segara Anak). Persewaan outdoor gear juga dapat diusahakan di area Pantai Sendang Biru. Selain itu, persewaan Gazebo, kursi berjemur dan alat snorkeling seperti halnya di Pantai Indrayanti juga dapat menambah pendapatan bukan.

Tentunya hal ini perlu ada edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat sekitar yang lebih baik untuk dapat menjaga kawasan ini.

Saya menulis ini bukan untuk memojokkan pihak tertentu atau menyinggung instansi terkait. Semua ini murni karena kecintaan saya kepada kawasan ini. Saya senang dan sering melakukan snorkeling, freediving dan sekali untuk SCUBA Diving di Waru-Waru dan Teluk Raas. Saat ini kondisi koralnya memang rusak, di daerah Waru-Waru malah banyak sampah. Namun dengan kondisi seperti itu, biodiversitas bawah airnya sangat tinggi. Masih banyak spesies-spesies langka yang terkadang dijumpai. Saya hanya berharap kondisi ini tidak bertambah buruk. Saat ini saya meyakini bahwa untuk menyelamatkan area konservasi adalah dengan pariwisata konservatif.

Salam Konservasi

Malang, 2014