Selasa, 04 Oktober 2011

Menanti Hujan

Musim hujan sepertinya akan datang di tanah kami. Seperti pagi ini, mendung tipis datang menghalangi terbitnya sang mentari. Burung-burung pun menari sambil berlompatan riang menyambut berakhirnya kekeringan di tanah kami. Udara dingin perlahan menerpa wajahku. Ia membelai seakan mengingatkan bahwa harapan masih ada. Seakan berkata bahwa Sang Ibu belum meninggalkan tempat ini.


Kekeringan telah menghampiri tanah kami di masa-masa sulit ini. Sebuah masa sulit dimana petani kelaparan ditengah areal persawahannya, nelayan mengalami gizi yang buruk dibalik jala dan perahunya, para penambang yang tak pernah menikmati kilau emas mereka dan banyak anak-anak yang tak pernah menuntaskan masa bermain mereka. Sebuah masa sulit yang menjadi lebih sulit atau lebih tepatnya buruk semenjak masa kekeringan berlangsung.


Semenjak masa kekeringan para petani menjadi lebih kurus karena persawahan telah menjadi lahan tandus sehingga mereka pun berevolusi menjadi penjual kayu bakar. Perahu nelayan yang dahulu berlabuh di permukaan danau kini menjadi tandon air karena danau telah kering dan ikan-ikan endemik mungkin akan menjadi legenda jika danau terisi kembali. Para penambang kini masih menjadi budak di tanah nenek moyang mereka yang akhirnya membuat mereka kehilangan keterampilan di masa kejayaannya.


Tersadar dari lamunan panjang matahari telah terbit di timur langit. Mendung tipis telah hilang tak berbekas tanpa meninggalkan setitik air di tanah ini. Namun tak apa, karena tanah ini masih akan tersiram oleh peluh dan tangis para penghuninya.

Sidoarjo, 2011