Sabtu, 20 Oktober 2012

Jika Saja

"Anda turun dimana mas?"


"Saya tadi turun untuk buang air kecil, lalu bus ini meninggalkan saya"


"Lalu sedang apa anda diatas saat ini?"


"Saya mencari tas saya, tadi ada disini, dimana sekarang?"

"Tas saya hilang.. Tas saya HILANG..!!!"


"Ohh, anda yang tadi telepon ke kantor dari kantor polisi?"

"Anda naik darimana?"


"Saya naik dari Probolinggo Bang.."

"Saya sari Sumatra Bang," isaknya


"Ohhh, anda operan dari bus ALS tadi,"

"Bagaimana bisa hilang?"


"Tadi saya disini bersama tas saya, lalu saya ke toilet, tiba-tiba bus meninggalkan saya Bang, sekarang sudah tidak ada Bang."


"Anda mau kemana?"


"Saya mau ke Situbondo Bang, tas saya hilang Bang"


"Aduh!!! Itu salah anda sendiri mas, sudah turun tidak ijin ke kondektur, tasnya ditinggal pula, dan ini bus ke Jember, bukan ke Situbondo"


"Tadi saya disuruh naik bus ini Bang"


"Apa isi tas anda?"


"Baju, barang-barang dan uang Bang"


"Aduhh!!!, berapa uangnya?"


"Dua juta empat ratus Bang," tangisnya semakin jelas.


"Sudah!!!," hardiknya, "Percuma anda menangis, tas anda sudah hilang. Saya penanggung jawab bus ini. Tadi katanya ada barang yang mau anda jual di pos, apa itu?"


"Jam pemberian Abah saya Bang"


"Sudah anda jual?"


"Tadi ditawar orang dua ratus ribu tapi tidak saya kasih Bang"


"Boleh lihat jamnya?"


Ia ragu-ragu untuk mengeluarkannya.


"Boleh saya lihat, mungkin ada diantara penumpang ini bisa membantu anda"


Ia pun mengeluarkan jam tersebut, sepertinya sudah tak ada pilihan lagi baginya. Tatapan semua orang sudah sejak tadi menghujaninya.


"Jelas tidak boleh dua ratus ribu ini mas!!!"


"Jam itu pemberian Abah dari pergi haji Bang"


Jam itu berwarna emas.


"Ini jam emas asli mas, lihat dibaliknya tertera berat emasnya 22 gram", ujarnya sambil memperlihatkan pada penumpang yang lain.


Jam itu pun berpindah-pindah tangan dari kursi depan sampai kursi belakang bus yang sedang berjalan.


"Saya ada uang dua ratus ribu, kalau anda mau nanti kita turun di ATM depan saya tambah tiga ratus ribu," teriak seorang penumpang.


"Jangan Bang, itu pemberian Abah saya. Abah saya dulu beli waktu haji sebesar tiga ribu dinar."


"Barang ini asli mas, lihat saja dibelakangnya tertera bahasa arab dan ada keterangan berat emasnya, coba tawar saja mumpung dia sedang bingung, sayang saya hanya ada dua ratus ribu, ini kalau anda jual tiga juta saja pasti langsung laku, orang bingung itu mas, jarang-jarang," salah seorang penumpang berbisik sambil menunjukkan jam itu padaku.


Ya, memang keterangan itu benar. Namun aku tak memperdulikan kata-katanya. Sudah cukup hatiku tersiksa karena tak mampu membantu pria malang itu. Kali ini orang tak tahu diri disampingku ini malah mengajakku untuk menjerat pria malang itu.


Sejenak pikiranku melayang tentang pelajaran sekolah dahulu dimana bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah, penuh toleransi, bangsa yang berbudaya.


Kini aku merasa hatiku pun telah hancur. Padaku pun aku merasa semua itu lenyap, yang ada hanya perasaan iba namun tak dapat berbuat apa-apa.


"Kebenaran tidak turun dari langit, ia harus diperjuangkan," kata-kata Pram, tokoh favoritku, terus memukul-mukul dada dan pikiranku.


Jam itu pun terus menerus bergulir dan saat aku tersadar orang "setan" disampingku sudah tidak ada, pria malang itu juga sudah tidak terlihat.


Aku langsung mengecek barang-barangku, ternyata lengkap.


Aku juga mengecek sekitar apakah aku tadi bermimpi, ternyata penumpang lain masih memperbincangkannya.


Aku kembali masuk dalam pikiranku sendiri, kemanakah dua pria itu, turun dimanakah mereka tadi, mengapa aku tak dapat berbuat sesuatu.


Tiba-tiba aku membayangkan diri ini berada dalam tubuh pria malang itu. Aku merasa ketakutan berada di tanah ini. Aku ingin sekali keluar dari bus ini dengan jam ayah. Aku merasa jijik dengan semua orang di bus ini. Aku merasa Tuhan sedang bercanda namun tidak lucu. Aku merasa rindu dengan kampung di Sumatra sana yang bukan kampungku. Aku merasa sendiri. Aku ingin seorang saja diantara bus ini yang mengenaliku. Surga dalam kitab-kitab suci tiba-tiba menjadi sangat sederhana saja, hanya sebuah sapaan "hai" dari siapapun itu. Aku merasa buang air tadi adalah kesalahan terbesarku.


Akhirnya sebuah klakson menyadarkanku kembali. Aku merasa sekolah yang aku kenyam ternyata memberikan pengetahuan palsu. Aku merasa malu dengan darahku sendiri. Aku merasa malu pada orang tuaku, pada kekasihku, pada Tuhanku, terlebih pada Pram dan pada idealisku selama ini.


Jika saja aku memberikan bantuan seikhlasnya pada pria malang itu. Jika saja aku menyapa dan duduk disampingnya. Jika saja ternyata ia adalah aku.


Memori ini tak pernah hilang. Wajahnya masih tergambar jelas dalam pikiranku. Ia datang setiap malam, setiap aku termenung, setiap saat.


Sidoarjo, 2012


Published with Blogger-droid v2.0.4